Oleh: Hasanuddin Djadin
Di Pemilu 2009, calon DPR RI Ali Mochtar Ngabalin adalah pemilik suara terbanyak di antara calon DPR RI lainnya. Tapi kenapa Ali M Ngabalin tidak ada di Senayan?
Di Pemilu 2019, Grace Natalie pemilik 200 ribuan suara batal ke Senayan. Lebih dekat lagi, Benny Ramdani di Sulawesi Utara memperoleh suara terbanyak tapi tidak duduk pula.
Di Gorontalo Roem Kono yang memiliki suara lebih banyak daripada Elnino justru yang kedua dinyatakan menang, sementara RK dinyatakan kalah.
Kenapa bisa begitu? Karena kekeliruan pikiran para pemilih dalam menghitung kursi. Kekeliruan itu timbul ketika menyangka Pemilu berarti “orang pilih orang”. Tidak sama sekali. Kenyataannya “orang pilih partai” dan bukan “orang pilih orang”.
Ini tidak ada atau jarang di warung kopi Gorontalo. Umumnya, mereka melakukan kekeliruan yang sama, yaitu “orang pilih orang”, padahal asumsi ini hanya untuk DPD RI yang non partai.
Bagi partai, keadaan ini menguntungkan karena yang dibicarakan oleh masyarakat pemilih adalah caleg, bukan partai. Padahal peserta pemilu menurut Undang-Undang adalah parpol, bukan caleg.
Di sinilah kita mulai tertipu.
Kalau mau berpikir sistemik maka yang perlu dihitung terlebih dahulu adalah pertanyaan tentang parliamentary treshold atau ambang batas parlemen. Pertanyaannya sederhana, apakah partai itu berhasil menembus batas parlemen 4% atau 23 kursi secara nasional? Jika kurang dari 23 kursi maka semua kursi itu “hangus” dan diisi oleh partai lainnya.
Inilah yang terjadi dengan Ali Mochtar Ngabalin di Maluku Utara, Grace Natalie di DKI Jakarta, dan Benny Ramdani di Sulut. Mereka menang Pemilu, tapi secara nasional partai mereka lebih kecil dari batas parlemen.
Kalau partai tersebut tembus parliamentary treshold secara nasional, maka pertanyaan kedua adalah; partai itu dapat kursi tidak di Gorontalo? Jumlahnya berapa kursi?
Ini hitungannya beda lagi. Ada sistem Saint League Murni yang mengenal angka pembagi 1, 3, 5. Sederhananya suatu partai untuk mendapatkan 1 kursi DPR RI maka dibutuhkan suara terbanyak partai itu. Sekali lagi, partai itu. Semua caleg.
Untuk mendapatkan kursi kedua maka partai itu mesti 3 (tiga) kali lebih banyak dari partai lain yang berada di urutan kedua. Jika ingin mendapatkan 3 kursi DPR RI maka suara partai itu perlu 5 (lima) kali lebih banyak daripada total partai lain yang urutan kedua.
Inilah sistem yang membuat Roem Kono (72 ribu suara) tidak duduk, sementara Elnino (67 ribu suara) justru melenggang ke Senayan. Kenapa? Karena Golkar dengan segala sumber dayanya gagal men-tigakali lipatkan suaranya terhadap Nasdem bahkan terhadap juara 3, Partai Gerindra.
Setelah tahap pertama kita menghitung parliamentary treshold, kedua menghitung kursi tiap partai, kita akan tiba pada efek ekor jas Pilpres. Pada 2019 PDI nyaris pecah telur karena rangking 4 di Gorontalo. Itu efek kemenangan Jokowi 51% di sini.
Setelah tiga tahap tersebut, barulah kita tiba pada pembahasan tentang orang. Bila melewati ketiga tahap itu, maka kita akan tertipu oleh sistem pemilu yang sedang kita hadapi. Terserah kita, berfikir sistemik atau kita tertipu oleh sistem.(***)